AKU GALAU
By Ahmad Qhusyaerie
Di sudut ruangan kelas, aku duduk disamping jendela yang terbuka begitu saja. Angin sepoi-sepoi telah masuk memenuhi ruangan kelas. Suara sepatu para siswa membuat suasana makin berasa. Coretan kapur di papan tulis seolah-olah saling berjatuhan. Aku tatapkan mataku di depan Hpku. Hpku terasa membisu, yang telah membuat aku terbengong panjang. Suara detak jam semakin membising ditelingaku “tek tek Tek tek”. Bunga yang berada di atas pot meja guru seakan-akan melepuh. Aku hanya berdiam seribu bahasa. Kutatap bunga itu. Kelopak bunga itu saling terbang menghampiri tanah. Saat begitu, suara terbukanya pintu membuat aku kaget, dan ternyata, seorang perempuan masuk dan berjalan menuju tempatku. Ia terlihat seperti bintang yang bersinar indah saat aku tatap matanya. Ku persilahkan duduk di depanku. Kata terimakasih yang keluar dari ucapan indahnya. Ku hanya menjawab dengan tersenyum. Hatiku seolah-olah telah menggerakan sayapnya untuk terbang menuju angkasa bersamanya.
Detak jantungku, seakan-akan berperang. Aku mencoba mengulang pertanyaan tadi malamku yang belum ia jawab. Dengan senyum manisku, aku mencoba memancing dia untuk langsung menjawab pertanyaan yag sama diwaktu malam. Ku lihat bibir manisnya, sudah mulai bergerak membentuk suara huruf-huruf yang sangat indah. Ia begitu tenang dan tegar, ia mulai terlihat air keringatnya yang muncul di sela-sela kerudung jilbabnya. Aku mencoba menerjemahan perilaku itu. Tapi ku tak mampu. Kata-kata yang ia ucapkan telah membelah dan menusuk-nusuk hatiku. Hatiku terasa sedikit demi sedikit runtuh. Aku mencoba bersabar dan tabah. Tapi aku bisa, hanya bisa menahan tetesan air yang telah menggumpal di dalam mataku. Aku hanya diam tapi mulutku tak bisa diam, malah telah mengisaratkan dia untuk pergi, lalu ia pergi dan pergi. Suara sepatu dia semakin kecil dan tak terdengar lagi. Pikiranku terasa berat, akhirnya, keningku merobohkan diataas meja suciku. Air mata mulai mengalir ke tempat yang lebih rendah dan menetes mengenai kepala sepatuku. Yang menjadikan ia terlihat bersinar. Tetesan itu menjadi irama yang menemani kesedihanku. Ku coba usap semuanya dan lihat kedepan. Bunga meja guru telah mati, jam telah tak bergerak lagi, tulisan dari kapur semakin pudar. Ku mulai perih hati ini , dan ku kembali taruhkan pipiki kedataran meja belajar suciku. Aku galaauuu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar